Membingungkan Heru Budi Bisa Emban Posisi Penting Hampir Dua Tahun: Pembentukan Pansus Efektivitas Double Jabatan Mendesak

Foto-INT/IST(Istana Presiden-IKN-Pemprov DKI Jakarta)-INT/IST

DARI sini bisa disimpulkan Heru Budi Hartono berpotensi menjabat sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta lebih dari 2 tahun, yaitu hingga pelantikan gubernur terpilih baru

Oleh : Sugiyanto (SGY)
Aktivis Senior Jakarta8

Jabatan Pejabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) yang saat ini dipegang oleh Heru Budi Hartono memiliki bobot strategis dan penting yang seimbang. Oleh karenanya, sulit diterima akal sehat dan membingungkan jika jabatan ini dirangkap oleh Heru Budi untuk kurun waktu yang cukup lama.

Namun demikian, jika rangkap jabatan untuk dua posisi itu dijalankan oleh Heru Budi hanya untuk sementara waktu, dalam 3 (tiga) bulan atau 6 (enam) bulan, masih bisa ditoleransi. Untuk pergantian pejabat dengan kondisi ini dapat merujuk pada kebijakan Badan Kepegawaian Negara, yaitu Surat Edaran No. 2/SEA/1v2019 tentang Kewenangan Pelaksanaan Pelaksana Harian (PLH) dan Pelaksana Tugas (PLT) dalam Aspek Kepegawaian.

Dalam aturan SE tersebut, ditegaskan bahwa “Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas melaksanakan tugasnya untuk paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.”

Terkait hal tersebut, pergantian rangkap jabatan dengan pejabat lain atau penggantian dengan pejabat definitif menjadi hal yang penting. Masa tugas PLT adalah hanya untuk dua kali penunjukan atau paling lama selama 6 (enam) bulan saja. Jika terjadi PLT lebih dari 6 (enam) bulan, maka merupakan pelanggaran aturan sehingga publik bisa menggugatnya.

Namun, pengisian Pj Gubernur DKI Jakarta saat ini sangat berkaitan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024. Pengisian posisi jabatan Heru Budi mengacu pada Pasal 201 ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dari sini bisa disimpulkan Heru Budi Hartono berpotensi menjabat sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta lebih dari 2 tahun, yaitu hingga pelantikan gubernur terpilih baru. Heru Budi sendiri dilantik sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta pada 17 Oktober 2022. Diperkirakan pelantikan gubernur baru paling cepat pada Januari 2025.

Jika jabatan Pj Gubernur Heru hingga Januari 2025, maka akan membingungkan sebab Heru Budi melaksanakan tugas rangkap jabatan yang keduanya merupakan posisi penting dan strategis lebih dari dua tahun. Di lain sisi, masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga akan berakhir pada 20 Oktober 2024.

Dalam hal ini, meskipun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) eselon I, Heru Budi dapat dianggap bagian dari rezim Presiden Jokowi karena dia ditarik dari Pemprov DKI Jakarta ke Istana menjadi Kasetpres. Sehingga menjadi logis jika masa tugas Jokowi selesai, jabatan Kasetpres Heru Budi pun sepatutnya juga berakhir atau digantikan dengan pejabat baru sesuai keinginan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pembentukan Pansus untuk Menyelidiki Efektivitas Rangkap Jabatan Heru Budi Menjadi Hal yang Penting dan Mendesak

Beberapa hari lalu, Selasa, 29 Juli 2024, saya menulis artikel berjudul “Heru Budi Nyaris Dua Tahun Sebagai Pj Gubernur dan Kasetpres: Dewan Perlu Bentuk Pansus Efektivitas Rangkap Jabatan.” Kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa rangkap jabatan memaksa Heru Budi untuk membagi perhatiannya antara mengurus DKI Jakarta dan memenuhi kebutuhan Presiden Jokowi.

Terkait hal tersebut, publik menilai Heru Budi dianggap gagal menjalankan tiga pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu mengurus masalah banjir, kemacetan, dan tata ruang Jakarta. Kondisi ini telah berjalan hampir dua tahun sejak Heru Budi dilantik sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta pada 17 Oktober 2022.

Dalam konteks ini, saya telah melakukan analisis tentang kemungkinan tidak efektifnya rangkap jabatan Heru Budi tersebut, khususnya menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi. Langkah saya ini bertujuan untuk membantu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, dalam mengevaluasi efektivitas rangkap jabatan Heru Budi Hartono sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta dan Kasetpres.

Dari hasil analisis saya tersebut, dapat disimpulkan, setidaknya terdapat tujuh alasan kemungkinan mengapa rangkap jabatan Heru Budi Hartono sebagai Pj Gubernur dan Kasetpres tidak efektif sebagai berikut:

Pertama, kemungkinan beban kerja yang berlebihan. Heru Budi Hartono menghadapi tantangan besar dengan merangkap dua jabatan penting sekaligus. Beban kerja yang berat ini kemungkinan berpotensi mengurangi efektivitas kinerjanya dalam menjalankan kedua tugas tersebut secara optimal.

Persoalan tersebut semakin kompleks terutama menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024. Banyak hal-hal penting yang harus segera dituntaskan, termasuk penyelesaian perpindahan ibu kota baru dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Kesemuanya ini sangat membutuhkan fokus kerja dari Kasetpres Heru Budi Hartono.

Kedua, kemungkinan konflik kepentingan dan prioritas. Memegang dua jabatan yang sangat penting secara bersamaan kemungkinan dapat menimbulkan konflik kepentingan dan kesulitan dalam menetapkan prioritas. Heru bertanggung jawab untuk menjaga kelancaran administrasi kepresidenan sekaligus harus fokus pada kepentingan warga Jakarta, yang mungkin bisa mengakibatkan kesulitan dalam menentukan mana yang harus diutamakan. 

Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024, konflik kepentingan mungkin saja terjadi jika putra Presiden Jokowi Kaesang Pangarep maju sebagai calon kandidat. Diketahui Heru Budi Hartono ditarik ke Istana karena kedekatannya dengan Jokowi, sehingga hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan Heru Budi sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta dan sebagai Kasetpres.

Ketiga, Kemungkinan kurangnya fokus pada isu-isu lokal. Posisi Kasetpres memerlukan perhatian pada isu-isu nasional, yang mungkin dapat mengakibatkan kurangnya fokus pada isu-isu lokal di DKI Jakarta seperti penanganan kemacetan lalu lintas, banjir, tata ruang, pengelolaan sampah, dan penyediaan fasilitas publik. Dengan terbagi antara dua jabatan, Heru mungkin tidak dapat memberikan perhatian yang memadai pada permasalahan lokal Jakarta.

Keempat, Efisiensi pengambilan keputusan. Merangkap dua jabatan kemungkinan dapat memperlambat proses pengambilan keputusan. Heru Budi Hartono harus membagi waktunya antara tugas-tugas di Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta. Keterbatasan waktu dan perhatian yang terbagi kemungkinan dapat menghambat efisiensi dalam pengambilan keputusan, yang kemungkinan bisa merugikan warga Jakarta.

Kelima, dampak terhadap implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan yang efektif memerlukan pemantauan dan evaluasi yang kontinu. Dengan merangkap jabatan sebagai Kasetpres, kemungkinan kemampuan Heru untuk memantau dan mengevaluasi kebijakan secara teratur dapat terganggu, yang mungkin mengakibatkan kebijakan yang tidak efektif atau tidak tepat sasaran.

Keenam, Kemungkinan peningkatan stres dan kesehatan mental. Merangkap dua jabatan dengan tanggung jawab besar mungkin dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Tingkat stres yang tinggi akibat beban kerja yang berat mungkin dapat mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan produktivitas.

Ketujuh, pengawasan dan akuntabilitas. Merangkap dua jabatan berpotensi dapat mengurangi tingkat pengawasan dan akuntabilitas. Ketika seorang pejabat memegang dua posisi penting, perhatian publik dan media terhadap kinerjanya mungkin terpecah, sehingga ada kemungkinan pengawasan menjadi kurang optimal.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rangkap jabatan Heru Budi Hartono sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta dan Kasetpres mungkin dapat dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah utama di Jakarta. Kemungkinan keterbatasan waktu dan fokus boleh jadi menghambat kinerjanya dalam menjalankan program-program yang diharapkan oleh Presiden Jokowi.

Untuk mengoptimalkan pelayanan publik dan kesejahteraan warga Jakarta, idealnya posisi Pj Gubernur DKI Jakarta dipegang oleh seseorang yang dapat sepenuhnya fokus pada tugas-tugas dan tanggung jawab di ibu kota.

Untuk lebih mendalam mengurai tentang persoalan efektivitas rangkap jabatan Heru Budi, DPRD DKI Jakarta sebaiknya segera membentuk "Pansus." Hasil dari Pansus Dewan bisa dijadikan rujukan untuk mengambil sikap Dewan guna kepentingan semua pihak, baik untuk masyarakat Jakarta, Pemprov DKI Jakarta, maupun Pemerintah Pusat.

​​​